Yesus, Anak Allah, adalah standar dalam dinamika hidup bergaul dengan Allah. Dan kita dimungkinkan juga untuk bisa memiliki dinamika hidup bergaul dengan Allah. Dan inilah yang sekarang semua kita harus gumuli. Maka, kita harus berani berkata, “berapa pun harganya.” Apa? Apa pun yang harus dikorbankan. Berapa pun harganya, apa pun yang harus dikorbankan, demi dinamika itu. Kita akan sangat menyesal ketika meninggal dunia, kita tidak pernah memiliki dinamika hidup dalam berinteraksi dengan Allah. Jadi, jangan berkata seperti kebanyakan orang berkata, “kita masih menginjak di bumi, belum menginjak surga. Berpikirlah realistis, jangan terlalu ekstrem.” Itu perkataan sesat dan jahat. Kita memang masih menginjak bumi, tapi ingat, yang kita injak ini akan menentukan kekekalan kita. Kita memang masih di bumi, tapi ingat, apa yang kita pikirkan, menentukan kekekalan kita di langit baru bumi baru.
Jadi, kita harus berani memfokuskan diri kita kepada Tuhan, berapa pun harganya, apa pun yang harus dikorbankan atau apa pun yang harus dipertaruhkan, demi menemukan dinamika ini, yaitu sampai kepada Bapa. Karena, Allahlah Bapa kita. Itu inti kekristenan. Di dalam Yohanes 14, ketika murid-murid-Nya bertanya “siapa Bapa itu dan bagaimana kami bisa mencapai Bapa itu,” Yesus berkata, “Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak seorang pun sampai kepada Bapa kecuali melalui Aku.” Banyak orang salah, dan ini bisa menjadi menyimpang atau meleset atau sesat ketika mereka menyamakan “sampai kepada Bapa” itu sama dengan “masuk surga.” Memang firman Tuhan mengatakan bahwa di kolong langit ini tidak ada nama yang diberikan kepada manusia yang di dalamnya manusia beroleh keselamatan. Itu berarti memang Yesus satu-satunya jalan keselamatan. Di luar Kristus, tidak ada keselamatan. Itu harga mati bagi orang Kristen.
Tetapi jangan disamakan dengan pengertian “sampai kepada Bapa.” “Sampai kepada Bapa” adalah hubungan eksklusif; dinamika yang bisa dialami umat pilihan, yang tidak semua orang bisa. Jadi, orang-orang yang hidup di luar berita Injil, tidak mendengar Injil, salah mendengar Injil; zaman Perjanjian Lama, yang akan dihakimi menurut perbuatan, itu mereka bisa masuk dunia yang akan datang, asal mereka mengasihi sesama seperti diri sendiri atau tidak menjadi ancaman bagi sesama. Karena dosa mereka pun dipikul Yesus di kayu salib, maka mereka bisa dihakimi. Kalau dosa mereka tidak dipikul, sebaik apa pun manusia, termasuk orang Kristen, semua masuk neraka. Kristus memikul semua dosa manusia, maka ada pengadilan (Rm. 2:12-16). Jadi, “sampai kepada Bapa” itu tidak hanya sekadar masuk dunia akan datang, tetapi menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah yang sejak di bumi memiliki dinamika hubungan dengan Allah Bapa seperti Yesus.
Itu yang kita harus cari dan gumuli, berapa pun harganya, apa pun yang harus dipertaruhkan. Dan memang hanya untuk itu kita hidup. “Sampai kepada Bapa,” adalah penggenapan di dalam Yohanes 17:20-21, “Engkau tinggal dalam Aku, Aku dalam Engkau.” Tetapi kemudian, “dan mereka tinggal di dalam Kita.” Sebab kekristenan itu jalan hidup; hidup-Nya Yesus. Dan sejak di bumi, dinamika hidup kita sudah kelihatan. Jadi, keselamatan itu bukan sekadar keyakinan melainkan pengalaman. Sehingga, orang tahu dia akan selamat, bukan dia yakin saja akan selamat. Makanya Tuhan berkata, “banyak orang dipanggil, sedikit yang dipilih,” karena memang tidak mudah. Ini sangat eksklusif; hanya untuk orang-orang tertentu saja yang dipilih. Seperti perumpamaan mengenai raja yang mengadakan pesta, dia memberikan undangan untuk hadir di pesta, tapi tidak disertai dengan pemberian baju pesta. Baju pestanya harus kita yang siapkan.
Tuhan mengampuni dosa-dosa kita, tetapi karakter dosa itu urusan kita dengan Roh Kudus. Kalau kita tidak menggarapnya, kita tidak bisa kudus. Dosa-dosamu, apa pun yang kita lakukan dulu, sekarang, mungkin ke depan, bisa diselesaikan. Tapi kodrat dosa kita juga harus diselesaikan. Kalau kita benar-benar berjuang untuk menyelesaikan kodrat dosa, lama-lama akan berhenti. Semua perbuatan akan dihakimi. Dosa yang masih dilakukan karena kodrat dosa belum selesai, itulah yang kekal, yang tidak bisa diampuni; kodrat dosa yang masih membuahkan perbuatan dosa. Ingat, kesalahan karena memang dia menikmatinya, dan kesalahan karena kelemahan dagingnya yang masih berkodrat dosa, itu berbeda. Seseorang pasti akan sangat menyesal ketika berbuat salah. Tetapi yang melakukan dosa karena kodrat dosa, dia menikmatinya dan dia tidak akan merasa menyesal. Bahkan dia masih mencari-cari kesempatan untuk menikmati sebanyak mungkin.
Ironis, betapa rusaknya kekristenan hari ini. Merasa sudah sampai kepada Bapa karena percaya Yesus dan percaya dosa-dosanya telah diampuni, padahal kodrat dosanya tidak diselesaikan. Makanya Paulus mengatakan, “aku melepaskan semuanya, supaya aku memperoleh Kristus.” Dan Roh Kudus harus menuntun kita. Kita harus mau menerima tuntunan Roh Kudus tersebut sampai kita mencapai kehidupan; kehidupan seperti yang Allah kehendaki. Kita harus terus mengalami perubahan, dan perubahan ini membutuhkan waktu. Jadi, kalau Tuhan mengizinkan kita harus masuk lembah kekelaman, kesulitan demi kesulitan, itu karena Allah mau membersihkan semua unsur dosa, unsur manusia lama kita. Sebab Allah memiliki standar, dan itu tidak bisa ditawar. Ini mutlak: “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.”
Kalau Tuhan mengizinkan kita harus masuk lembah kekelaman, karena Allah mau membersihkan semua unsur dosa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar