Selasa, 06 Juni 2017

MEMILIKI HATI NURANI YANG BERSIH


Kisah Para Rasul 24:16  Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia.

Hati nurani atau suara hati lebih bersifat subyektif, maksudnya bahwa hati nurani kita sangat dipengaruhi oleh “diri sendiri” (yaitu yang menurut “aku” baik atau buruk).
Suara hati mencerminkan segala pengertian dan prasangka masing-masing individu, sehingga jelas merupakan “sesuatu yang bersumber pada diri sendiri”.
Dalam hal ini kita tidak boleh mengidentifikasikan dan mengidentikkan hati nurani dengan suara Allah.
Walaupun hati nurani tidak dapat diidentikkan dan tidak boleh diidentifikasikan sebagai suara Allah, tetapi hati nurani berhubungan dengan “yang Ilahi”, sebab komponen itu memang dari Allah dan diharapkan dapat se-chemistry atau sewarna dengan Allah, sehingga subyektivitasnya dapat dipercaya.
Kalau hati nurani digarap dengan benar, terus diwarnai dengan firman Allah, maka hati nurani seseorang menjadi hati nurani yang “se-chemistry dengan Allah”, ini disebut sebagai nurani Ilahi.
Tetapi kalau tidak digarap dengan baik dan terus diwarnai oleh unsur dunia, maka nuraninya yang baik berubah menjadi nurani yang jahat.
Orang yang memiliki hati nurani yang berkelas “Ilahi” tidak perlu diancam hukuman untuk melakukan hukum atau kebenaran, sebab orang yang memiliki hati nurani yang murni, maka hukum Allah akan selalu tertaruh didalam hatinya yang membuatnya dengan rela dan sukacita melakukan kehendak Allah dengan hati yang tulus (Roma 2:15).
Kalaupun seseorang berbuat baik, bukan hanya karena ancaman neraka, tetapi hati nuraninya memang terbentuk demikian, yaitu tidak bisa berbuat salah.
Dalam Roma 13:5 Paulus menulis kalimat ini: Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita.

Oleh karena hati nurani belum tentu bisa mewakili suara Allah, maka hati nurani belum tentu dapat selalu dipercaya, setiap orang harus mempersoalkannya dihadapan Allah.
Belum tentu suara hati nurani sesuai dengan pertimbangan dan keputusan Allah, oleh sebab itu hati nurani harus tunduk pada otoritas Firman Allah dan pengadilan Allah.
Bagi orang pilihan Allah yang direncanakan oleh Allah adalah umat dapat memiliki kualitas hati nurani yang searah dengan diri-Nya, oleh sebab itu seseorang harus selalu mempertimbangkan dan memeriksa kemungkinan kesalahan pada suara hati nuraninya.
Menyadari hal ini, maka orang percaya tidak boleh berhenti dalam memperbaharui pikiran dan hatinya dengan Firman Allah, sampai makin memiliki pengertian yang searah dengan kehendak Allah. Sehingga suara hati dapat mewakili suara Allah dan segala pertimbangan dan keputusannya sesuai dengan yang Allah inginkan. Ini barulah tidak meleset. Inilah yang disebut dengan hati nurani yang murni, yaitu keberadaan manusia batiniah yang tidak menyimpan niat kejahatan (Kisah Para Rasul 23:1; 24:16; 2 Korintus 1:12).
Keberadaan hati nurani yang murni ini membuat seseorang memiliki beban yang tulus terhadap keselamatan jiwa orang lain. Seperti Tuhan juga tidak menghendaki seorangpun binasa, seseorang yang memiliki pikiran dan seperasaan dengan Tuhan maka ia akan rela berkorban apa pun demi keselamatan jiwa orang lain (Roma 9:1-3).
Orang-orang seperti ini melayani bukan karena upah atau imbalan yang disediakan.
Di dalam dirinya ada “beban” dan irama melayani. Hati nurani yang terbeban bagi keselamatan jiwa orang lain pasti berusaha untuk tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Ia rela kebebasannya terampas demi supaya menjadi berkat bagi sesama (1 Korintus 10:25-29). Kalau berbuat suatu kesalahan, maka hati nuraninya sangat terganggu.

Dalam proses pembentukan hati nurani yang bersih, yang memegang peranan adalah jiwa. Unsur yang masuk dalam jiwa menentukan kualitas jiwanya; dan kualitas jiwa menentukan kualitas hati nuraninya.
Kalau unsur-unsur dunia atau dari kuasa jahat yang masuk ke dalam jiwa, maka hati nuraninya rusak.
Unsur-unsur dunia adalah keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup (1 Yohanes 2:15-17).
Ini sama dengan percintaan dunia atau mengasihi dunia (Yakobus 4:1-4).
Hal inilah yang menyeret jiwa dan roh ke dalam kegelapan abadi. Itulah sebabnya dikatakan dalam Firman-Nya bahwa bukan tanpa alasan kalau Kitab Suci berkata: “Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!” (Yakobus 4:5). Allah mengingini roh yang keluar dari diri-Nya yang ada pada manusia dapat kembali kepada-Nya. Kalau hati nurani seseorang baik, maka roh atau neshamah-nya menjadi bersih atau kudus sehingga dilayakkan menerima kemah baru; kembali kepada Bapa dalam Kerajaan Surga.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar