Kamis, 10 Agustus 2017

MENGEJAR KESEMPURNAAN DENGAN TANPA BATAS


Matius 19:21
Kata Yesus kepadanya: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."

Banyak orang Kristen tidak mau mengerti bahwa orang percaya dipanggil untuk sempurna.
Sempurna di sini adalah sempurna dalam ukuran manusia sesuai dengan yang ditargetkan atau dikehendaki oleh Allah untuk dicapai seseorang.
Tentu saja kesempurnaan masing-masing individu sesuai dengan kapasitas yang dapat dicapai oleh masing-masing individu tersebut. Dalam hal ini setiap komunitas dan individu memiliki tuntutan yang berbeda-beda.
Bagi umat pilihan Perjanjian Lama, mereka hanya dituntut untuk melakukan hukum Taurat sebaik-baiknya atau sesempurna mungkin. Seperti orang muda kaya di Matius 19, ia hanya mengerti ukuran menjadi baik saja yaitu melakukan hukum-hukum.
Tetapi untuk umat Perjanjian Baru, mereka dituntut untuk serupa dengan Tuhan Yesus.
Orang percaya harus berprinsip : Tuhan adalah hukumku.
Standar sempurnanya bukanlah hukum, tetapi Tuhan sendiri hukumnya.
Itulah sebabnya Tuhan memerintahkan kepada orang muda kaya untuk mengejar kesempurnaan namun orang muda kaya itu gagal memenuhi hal tersebut karena hal tersebut dinilai memberatkan hidupnya sebab ia masih menyayangkan nyawanya, hartanya demi kelangsungan hidupnya dibumi ini.
Orang percaya dipanggil untuk menjadi saksi Tuhan yang tidak menyayangkan nyawanya sehingga hatinya tidak terikat oleh perkara-perkara duniawi dan dapat menjadi kawan sekerja Allah yang hanya mengabdi kepada satu Tuan yaitu Tuhan Yesus Kristus.

Ukuran sempurna bagi umat Perjanjian Lama adalah melakukan hukum Taurat.
Sehingga seseorang dapat menyatakan bahwa dirinya tidak bercacat, yang sama dengan sempurna.
Pada umumnya agama-agama seperti agama Yahudi yang memiliki hukum tertulis sebagai standar kebenaran atau kesuciannya, kualitas moral, etika, dan perilakunya dapat terukur. Bisa dimengerti, kalau mereka merasa diri sudah benar, sehingga tidak merasa membutuhkan keselamatan dari korban salib Tuhan Yesus Kristus dan mereka juga tidak merasa perlu untuk bertobat.
Agama seperti agama Yahudi tersebut dapat mengukur apakah seseorang dipandang melanggar hukum atau tidak.
Seperti Paulus dalam kesaksian mengenai hidupnya sebelum mengenal Tuhan Yesus, bahwa berdasarkan kebenaran melakukan hukum Taurat, dirinya tidak bercacat (Filipi 3:6).
Dalam hal tersebut Paulus bisa menunjukkan kepada masyarakat di sekitarnya, bahwa ia tidak berbuat suatu kesalahan apa pun yang melanggar hukum Taurat.
Kata “tidak bercacat” dalam teks aslinya adalah amemptos (ἄμεμπτος).
Kata ini berarti blameless, deserving no censure, free from fault or defect (tidak bercacat, pantas tidak terhukum, bebas dari kesalahan). Dengan demikian, kesucian hidupnya yang berdasarkan Taurat dapat terukur.

Berbeda dengan agama-agama samawi, seperti agama Yahudi, di mana kesucian dan kebenaran hidup mereka dapat terukur, kebenaran atau kesucian hidup dalam Kekristenan tidak terukur, sebab dalam Kekristenan tidak ada hukum-hukum atau syariat seperti yang dimiliki agama Yahudi atau agama-agama samawi lainnya. Hukum yang harus dijalani dalam kehidupan orang percaya adalah Allah sendiri, yang sama dengan melakukan kehendak Allah yaitu apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna menurut Allah. Kalau Allah adalah hukumnya, maka hanya Allah yang tahu dan merasakan kesucian dan kebenaran seseorang.
Manusia lain tidak akan pernah tahu dan merasakannya secara tepat, maka orang lain tidak berhak menilai atau menghakiminya.
Jika hukum yang harus dijalani adalah kehendak Allah, maka tentu saja hanya Allah yang dapat mengukur seseorang, sampai di mana ketaatannya terhadap Allah sendiri. Hanya Allah yang dapat merasakan keberkenanan seseorang terhadap diri-Nya. Hukum yang diberlakukan dalam kehidupan orang percaya adalah Allah sendiri, artinya kehendak-Nya yang menjadi hukumnya. Sesungguhnya hanya Allah saja yang dapat menilai dan merasakan kehidupan seseorang. Dengan demikian hanya Tuhan yang mengukur sampai di mana seseorang mencapai kesempurnaannya. Hanya Allah yang dapat menjadi penilai dan hakimnya.

Karena hal tersebut di atas, maka tidak ada orang percaya yang boleh merasa bahwa dirinya sudah sempurna, apalagi membandingkannya dengan sesamanya. Bagaimana dirinya tahu sudah sempurna dan membandingkannya dengan orang lain?
Nilai kesempurnaan hanya ada pada Allah. Kesempurnaan setiap individu berbeda-beda sesuai dengan pandangan atau penilaian Allah atas masing-masing individu tersebut. Dengan demikian orang percaya tidak bisa dan memang tidak boleh membanggakan diri atas prestasi kerohanian atau moral yang telah dicapainya. Hal ini berbeda dengan agama samawi yang membuka peluang bagi pengikutnya untuk dapat membanggakan kesalehannya, sebab memang kesalehan mereka dapat terukur. Tetapi kesalehan hidup orang percaya tidak dapat terukur oleh manusia lain, sebab tingkat kesalehannya diukur oleh Allah dan disadari oleh diri sendiri dalam pimpinan Roh Kudus.
Orang percaya harus selalu merasa miskin di hadapan Allah, artinya kesadaran bahwa dirinya belum berkeadaan seperti target yang harus dicapai sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah (Matius 5:3).
Dengan demikian seseorang harus selalu memperbaharui pikirannya supaya semakin mengerti yang dikehendaki oleh Allah.
Seiring dengan pembaharuan pikiran, orang percaya mengalami pertumbuhan dalam pengenalan akan Allah, sehingga lebih mengerti kehendak Allah. Hal ini tidak berlangsung hanya satu kali, tetapi harus terus terjadi atau berlangsung setiap hari. Dengan demikian perjalanan hidup orang percaya adalah perjalanan dari pertobatan ke pertobatan (metanoia), demi menuju kesempurnaan seperti yang dikehendaki oleh Allah.

Kalau pertobatan dalam agama samawi pada umumnya menekankan pada perubahan perilaku yang kelihatan, tetapi dalam Kekristenan bukan hanya perubahan perilaku secara umum (hal ini juga penting), tetapi juga perubahan pola berpikir.
Perubahan pola berpikir terus menerus sampai dapat memiliki pola berpikir seperti Tuhan Yesus (Filipi 2:5-7).
Jika dipersoalkan apakah orang percaya bisa mencapai kesempurnaan? Jawabnya mengapa tidak, sebab yang memerintahkan kita untuk sempurna adalah Yang Mulia Agung Tuhan kita Yesus Kristus, oleh sebab itu Roh Kudus di utus Bapa untuk memperlengkapi orang percaya untuk bisa sempurna sehingga dapat menjadi saksi-Nya. Namun hal menjadi sempurna juga memerlukan respon yang kuat dari orang percaya dimana pola berpikirnya harus mau diubahkan menjadi pola pikir seperti Kristus.
Pola berpikir seseorang menentukan setiap perilakunya, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, yaitu sikap hatinya.

Oleh sebab itu orang percaya harus berurusan dengan Allah secara pribadi. Orang percaya harus memiliki kepekaan terhadap kehendak Allah dan memahami apakah dirinya sudah berkeadaan berkenan atau belum.
Orang percaya yang benar selalu “menggelar perkara” di hadapan Allah.
Perkara yang digelar adalah dirinya sendiri, yaitu apakah keadaan dirinya sudah berkenan di hadapan Allah atau belum.
Orang percaya yang menggelar perkara di hadapan Allah selalu mempersoalkan : Apakah ada hal-hal yang Tuhan tidak kehendaki yang masih dilakukan atau apakah keberadaan orang percaya tersebut sudah memuaskan hati Allah atau belum.
Dalam hal ini, kita belajar dari Pemazmur yang mohon agar Tuhan menyelidiki dirinya.
Maksud hal tersebut adalah untuk menemukan apakah jalannya serong atau menyimpang dari jalan kebenaran yang Allah kehendaki (Mazmur 139:23-24).
Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar