Jumat, 12 Mei 2017

SELERA JIWA & STANDAR KASIH UMAT PERJANJIAN BARU


Yohanes 15:12-14
12 Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.
13 Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.
14 Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.

Dalam durasi waktu hidup yang singkat ini kita harus berjuang untuk dapat mengubah selera jiwa kita. Jika tidak keburu, artinya sampai usia tertentu dan selera jiwa seseorang masih duniawi, maka selera jiwa tersebut tidak akan pernah bisa berubah lagi. Ini berarti seseorang pulang ke kekekalan dalam keadaan selera jiwa yang masih tertuju kepada dunia ini.
Selera jiwa yang tertuju kepada dunia ini berarti membuat seseorang tidak bisa merasakan kehausan akan Allah.
Ketika seseorang meninggal dunia, di mana selera jiwanya masih belum tertuju kepada Tuhan, maka keadaannya seperti orang kaya dalam Lukas 16:19-31. Orang kaya tersebut merasakan kehausan yang luar bisa, tetapi ia tidak akan terpuaskan sebab Tuhan tidak dapat ditemuinya. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang gagal menjadi mempelai Tuhan.

Orang-orang yang menjadikan dunia ini sebagai obyek kesenangannya tidak akan mencari Tuhan dalam arti yang sesungguhnya atau tidak akan mencari Tuhan secara benar.
Dunia sebagai obyek kesenangan, artinya semua yang bersifat materi seperti mobil, rumah, perhiasan dan lain sebagainya serta yang non materi seperti kehormatan dan sanjungan manusia menjadi kesukaan atau kenikmatannya. Biasanya memang manusia hidup hanya untuk memburu hal-hal tersebut agar dapat memiliki sebanyak-banyaknya. Orang-orang seperti ini tidak mungkin dapat mencari Tuhan dalam arti yang benar, sebab tidak mungkin orang bisa mencari dua-duanya, Tuhan dan dunia ini. Tuhan menghendaki kita mencari salah satu. Seseorang tidak dapat memiliki dua tuan (Matius 6:24).
Tuan di sini maksudnya adalah sesuatu yang menggerakkan seseorang menjalankan hidup ini.

Bisa saja seorang Kristen merasa bahwa sementara dirinya mengingini dunia dan menikmatinya, sekaligus ia merasa tidak membenci Tuhan, bahkan ia merasa mengasihi Tuhan. Dalam pikirannya, membenci Tuhan itu berarti tidak ke gereja, mengumpat dan mengutuk Tuhan, berbuat jahat yang melanggar moral dan mendatangkan kesengsaraan bagi sesama. Ia merasa dirinya tidak melakukan hal itu. Orang-orang Kristen seperti ini tidak mengerti maksud Matius 6:24.
Harus dipahami bahwa khotbah di Bukit hanya untuk umat pilihan, yaitu mereka yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.
Khususnya Matius 6 ditujukan bagi mereka yang dipanggil untuk mengumpulkan harta di surga, bukan mengumpulkan harta di bumi. Mereka harus memindahkan hati ke surga sebab hartanya sendiri sesungguhnya di dunia yang akan datang, bukan di bumi (Lukas 16:12). Ini adalah orang-orang yang dikhususkan menjadi anak-anak Allah yang sah atau mempelai Tuhan Yesus Kristus.

Bagi mereka standar mengasihi Tuhan adalah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi secara ideal (Matius 22:37-40).
Kecintaannya kepada Tuhan harus lebih dari cintanya kepada siapapun bahkan lebih dari mengasihi nyawanya sendiri (Lukas 14:26).
Kalimat “membenci ayah ibu, saudara dan bahkan nyawanya sendiri” menunjukkan bahwa kecintaan kepada Tuhan harus ekstrem. Sebenarnya perintah kasih dalam Matius 22:37-40 adalah perintah yang sudah ada di zaman Perjanjian Lama.
Pelaksanaan perintah ini cukup dengan melakukan hukum taurat dan tetap menyembah Allah Elohim, tetapi bagi umat Perjanjian Baru tidak cukup demikian, standard mengasihi Tuhan harus secara ekstrem, yaitu mengasihi Tuhan lebih dari mengasihi siapa pun bahkan nyawanya sendiri.
Jadi, standar mengasihi Tuhan bagi umat pilihan Perjanjian Baru tidak sama dengan standar mengasihi Tuhan umat Perjanjian Lama. Umat Perjanian Baru harus mengasihi Tuhan lebih kuat atau ekstrem.
Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Tuhan Yesus dengan kalimat : Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu (Markus 12:30).

Sebagai kekasih Tuhan, kalau hanya mengasihi dengan setengah hati atau tidak ekstrem bukanlah cinta yang proporsional.
Bagi orang percaya, yang adalah anak-anak Allah dan mempelai bagi Tuhan Yesus, maka kita harus memiliki cinta yang sangat istimewa atau “ekstrem” terhadap Allah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus.
Ini adalah anugerah yang tidak terkatakan, yaitu kalau kita bisa menjadi kekasih Tuhan.
Tentu Tuhan juga dapat merasakan kalau seseorang mengasihi Tuhan secara ekstrem.
Menjadi pertanyaan dalam diri kita: apakah Tuhan merasakan bahwa kita telah mengasihi Tuhan secara ekstrem?
Rasul Paulus merupakan model seorang pelayan Tuhan yang menunjukkan ledakan cinta kasihnya yang begitu hebat dan ekstrem kepada Tuhan.
Dalam pelayanannya, ia bukan saja tidak menuntut upah, tetapi juga siap menghadapi segala keadaan demi kemajuan Injil.
Dalam kesaksiannya ia berkata: aku senantiasa bersaksi kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani, supaya mereka bertobat kepada Allah dan percaya kepada Tuhan kita, Yesus Kristus. Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ, selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah (Kis 20:21-24).

Inilah ketaatan tak bersyarat, ketaatan yang dipersembahkan tanpa menuntut upah yang siap berkorban waktu, tenaga, pikiran, perasaan bahkan harta bahkan nyawa demi Injil Kristus bisa diberitakan secara lengkap dan murni.
Di dalam hal ini tidak pernah kita temukan Paulus dan para Rasul lainnya serta murid lain-Nya menuntut upah. Tuhan Yesus mengajar orang percaya untuk memiliki sikap seperti ini. Tuhan Yesus memampukan setiap orang percaya untuk memiliki sikap seperti yang Ia miliki yaitu hati seorang hamba yang memiliki kasih yang tanpa syarat.
Itulah sebabnya dikatakan Ia menjadi yang sulung di antara banyak saudara (Roma 8:29). Dari penjelasan di atas ini, kita memperoleh kebenaran yang membahagiakan, bahwa kita juga dapat memiliki kualitas pelayanan seperti yang dimiliki oleh Tuhan Yesus jika kita mau memberi diri menyerahkan segenap hidup dan memindahkan seluruh selera jiwa kita untuk mengabdi kepada rencana dan kehendak-Nya dan kemuliaan bagi Dia sampai selama-lamanya.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar